Sunday 8 February 2009

Pembangunan sebagai kebebasan: Pengantar Amartya Sen tentang Pembangunan

REVIEW

Profesor Amartya Kumar Sen menjelaskan dalam bukunya mengenai kosepnya mengenai pembangunan, yaitu sebagai upaya untuk memperluas kebebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat.dalam konsepnya tersebut, kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan. Nilai intrinsik kebebasan manusia didukung oleh berbagai kebebasan ini besar bersifat empiris dan kausal,saling menjadi bagian dan berkaitan. Contohnya, kebebasan ekonomi dan pilitik saling memperkuat. Untuk berperan serta dalam ekonomi dan politik, peluang sosial di bidang pendidikan dan kesehatan melengkapinya. Dapat kita lihat bahwa pandangan Profesor Sen yang luas ini kotras dengan pandangan konvensional bahwa pembangunan tergantung pada pertumbuhan ekonomi, seperti pertumbuhan PDB, pendapatan nasional, serta kemajuan teknologi dan modernisasi sosial.

Untuk memenuhi perluasan kebebasan tersebut yang dikemukakan di atas, diharuskan untuk menyingkirkan kemiskinan dan tirani, intoleransi, dan campur tangan rezim represif yang berlebihan. Walaupun mengalami peningkatan kesejahteraan material,teramsuk di Negara berkembang, tetapi sebagian besar manusia tidak memiliki berbagai kebebasan dasar. Seringkali ketidakbebasan ini disebabkan oleh kemiskinan absolut yang menyebabkan orang-orang sulit memperoleh kebebasan untuk memuaskan rasa lapar, memenuhi nutrisi, pengobatan, sarana dan fasilitas yang memadai seperti air bersih.

Profesor mengkritik pandangan tradisional dalam bukunya Poverty and Famines-An Essay on Entitlement and Deprivation, bahwa bencana kelaparan disebabkan oleh turunnya persediaan pangan. Padahal menurut studi empiris, pandangan tersebut bisa terjadi tanpa adanya penurunan persediaan pangan. Ia juga menyatakan bahwa perhatian harus dipusatkan pada Entitlement (hak) yang dimiliki oleh setiap orang. Jika seseorang tidak dapat membangun hak atas jumlah pangan yang cukup maka ia akan kelaparan.

Pada kasus lain, tiadanya kebebasan disebabkan langsung oleh tidak adanya program pendidikan dan kesehatan yang memadai dan tidak adanya lembaga yang menjaga keamanan, ketertiban dan hukum secara efektif. Kebebasan perempuan juga sangat dibatasi, padahal jika perempuan diberi kesempatan untuk bekerja di luar rumah, maka ia dapat membantu mengurangi kemiskinan, dan membantu mensejahterakan keluarga.

Dalam hal lainnya pula, tiadanya kebebasan adalah akibat langsung dari hilangnya hak politik dan sipil karena tindakan otoriter pemerintah. Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan sosial, poltik, dan ekonomi juga dibatasi. Di beberapa negara berkembang, penolakan terhadap sistem demokrasi dan kebebasan politik didasari pada beberapa argumen berikut.

Pertama, klaim bahwa kebebasan dan hak politik menghambat pembangunan ekonomi. Pandangan ini tidak didukung bukti empiris yag kuat. Apalagi tidak banyak bukti yang memperlihatkan bahwa rezim otoriter mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata. Bukti-bukti yang sangat meyakinkan oleh professor Sen menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara berkembang pertama disebabkan oleh iklim ekonomi yang menguntungkan daripada system politik yang keras.

Kedua, beberapa pembela kebijakan otoriter mengklaim bahwa jika kepada orang-orang miskin diberikan pilihan apakah mereka menginginkan kebebasan politik atau pemenuhan kebutuhan ekonomi, maka mereka memilih yang kedua.

Ketiga, argumen ini cenderung pada kebijakan otoriter didasarkan pada klaim bahwa kebebasan politik dan demokrasi adalah “konsep Barat” yang tidak sesuai dengan “nilai-nilai Asia” yang lebih menekankan pada ketertiban serta disiplin diri dan sosial daripada kebebasan politik.

Hubungan antara demokrasi dan tiadanya bencana kelaparan mudah dicari. Di negara-negara nondemokratis, yang tertimpa bencana kelaparan, para presiden , raja, dan pemimpin militer beserta keluarganya tidak pernah menjadi korban. Alasannya karena mereka tak perlu menanggung konsekuensi dari kegagalan mencegah kelaparan. Di negara-negara ini, tidak ada pemilu bebas, partai oposisi, dan pers yang tidak dihalangi mempublikasikan fakta-fakta yang mempermalukan pemerintah.

Sebaliknya, di negara demokrasi, bencana kelaparan dapat menimpa kelompok berkuasa dan para pemimpin politik. Ancaman ini telah memberi peringatan politik kepada para pejabat untuk mencegah bencana kelaparan. Pers yang bebas mengadakan liputan investigatif memberikan informasi penting yang dapat mencegah terjadinya kelaparan.

Analisis profesor Sen tentang pembangunan memandang kebebasan individu sebagai dasar. Karena itulah pembangunan harus dipandang sebagai usaha untuk memperluas kebebasan subtantif atau “kemampuan manusia”. Perspektif “kemampuan manusia” ini, berkaitan dengan perspektif “modal manusia”. Namun cakupan perspektif “modal manusia” lebih sempit, karena ia hanya memfokuskan perhatian kepada upaya manusia dalam mningkatkan produksinya atau cara agar manusia menjadi lebih produktif sehingga memberi sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, perspektif Profesor Sen tentang “kemampuan manusia” lebih luas yang memfokuskan perhatian pada kemampuan atau kebebasan subtantif semua orang untuk menempuh kehidupan yang menjadi idaman.

Relevansi Pandangan Profesor Sen bagi Indonesia

Di masa pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 1996 sampai pertengahan 1997, pandangan Profesor Sen ini bias dianggap sebagai idealis dan naïf pandangan intelektual yang sama sekali tak mengenal realitas politik di banyak negara berkembang. Di negara-negara ini mayoritas penduduk belum bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Pada masa itu negara-negara otoriter (termasuk Indonesia) mencapai laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat daripada negara-negara yang kurang otoriter.

Sebenanya pandangan yang anti demokrasi itu didasarkan pada bukti yang sangat terbatas. Namun pandangan ini kuat mencengkeram para pemimpin politik di banyak negara berkembang yang berpandangan bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup dan membangun negara yang kuat adalah dengan mencapai pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang pesat dengan kekuasaan otoriter.

Setelah pecah krisis keuangan dan ekonomi di Asia Tenggara dan Asia Timur pada 1997/98, pandangan tentang nilai-nilai demokrasi dalam mengelola krisis ekonomi menjadi sangat relevan, khususnya untuk Indonesia.

Menurut Profesor Andrew McIntyre, struktur politik di Indonesia dan Thailand sangat menyulitkan upaya perbaikan krisis secara cepat dan efektif karena kepercayaan investor sangat menurun. Akibatnya, kerusakan ekonomi yang terjadi berlipat ganda. Walaupun demikian, struktur politik di kedua negara ini sangat berlainan.

Tidak seperti di Thailand, struktur politik di Indonesia sangat otoriter dan represif, dengan otoritas pembuat kebijakan terpusat pada Soeharto. Dalam pidato Dr. Denis de Tray, menyatakan bahwa para ekonom telat menyadari ahwa petiumbuhan ekonomi yang pesat-berkelanjutan tidak hanya bergantung pada kebijakan makroekonomi dan mikroekonomiyang sehat, melainkan pada lembaga yang kokoh yang dapat menegakkan berbagai aturan dasar dalam mengendalikan kegiatan pemerintah. Di Indonesia, satu-satunya lembaga yang kuat selama era Orde Baru adalah presiden, namun lembaga ini pun tidak dapat berfungsi dengan baik.

Di Indonesia peranan proaktif demokrasi tidak ada. Karena itu pernyataan Profesor mohammad Sadli sangat benar, bahwa hebatnya krisis di Indonesia mayoritas disebabkan oleh factor-faktor politik, termasuk ketidakstabilan politik sekita Soeharto, suksesi politik, korupsi besar-besaran, dan represi terhadap segala lapisan politik.

Ketika ekonomi Indonesia semakin jatuh ke dalam jurang pada awal 1998, terlihat jelas bahwa disiplin reformasi keuangan dan ekonomi lainnya dihambat oleh Soeharto. Ia bertekad melindungi kepentingan ekonomi anak-anaknya. Walaupun banyak ekonom, pelaku bisnis, dan birokrat senior sangat menyadari bahwa langkah-langkah lebih mantap untuk menghentikan anjloknya ekonomi diperlukan, tak seorangpun di lingkungan politik yang berani mendorong presiden untk menghadapi situasi sulit itu dengan tabah. Dalam kasus Indonesia tersebut, pandangan Profesor Sen mengenai perana protektif demokrasi jelas relevan.

Jadi, kebebasan politik memang merupakan unsur yang sangat penting dalam seluruh kebebasan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa untuk untuk menempuh kehidupan yang diinginkan. Walaupun itu bukanlah satu-satunya kebebasan instrumental. Yang lainnya mencakup fasilitas ekonomi, peluang social, jaminan transparansi, jaminan perlindungan. Semua kebebasan instrumental tersebut merupakan komponen penting yang harus dimiliki oleh rakyat Indonesia.

Mengherankan bahwa semua diskusi mengenai “distribusi asset” yang lebih merata, topiknya hanya terpusat pada redistribusi aset fisik atau aset moneter. Hampir tak seoranpun yang mengemukakan masalah krusial “redistribusi asset nonfisik”, yang unsure terpentingnya adalah keterampilan manusia. Memperluas akses kepada lembaga pendidikan yang baik bagi mayoritas penduduk kurang mampu, misalnya dengan meningkatkan beasiswa bagi anak-anak keluarga kurang mampu, sepertinya sejalan dengan upaya memperluas “kemampuan manusia”. Dengan upaya ini kebebasan yang mereka miliki akan membimbing mereka ke arah kehidupan yang diimpi-impikan.

No comments:

Post a Comment