Sunday 8 February 2009

PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (PPMK)

REVIEW

Gubernur Propinsi DKI Jakarta mengeluarkan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 1561/2002 tentang “Pedoman Pelaksanaan Program Pemerdayaan masyarakat Kelurahan (PPMK) Dalam Rangka Mempercepat Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di kelurahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2003-2007”

Gubernur berharap bahwa masyarakat dapat menjadi swadaya dan mandiri dan tidak bergantung kepada pemerintah.

Program ini dilaksanakan dengan program Tribina yaitu ekonomi,bina fisik lingkungan, dan bina sosial. PPMK memberikan peran lebih besar kepada masyarkat untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi serta diharapkan dapat meningkatkan partisispasi masyarakat, baik daam bentuk tenaga, pemikiran, maupun finansial.

PPMK adalah merupakan sistem dan pola proses perubahan yang dikehendaki dan direncanakan secara konseptual untuk memberdayakan masyarakat ang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat baik fisik maupun non fisik melalui lembaga kemasyarkatan yang ada di kelurahan, dengan menyediakan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).

PPMK bertujuan untuk mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Kelurahan Propinsi DKI Jakrta, yaitu:

1. Untuk memberdayakan masyarakat yang berbasis pada komunitas RW.

2. Untuk memperbaiki prasarana dan sarana dasar lingkungan, pengembangan ekonomi produktif dan pembukaan lapanbgan kerja baru serta program sosial lainnya.

3. Menggerakkan partisipasi masyarakat untuk mengimbangi dan mensinerjikan program sosial lainnya.

4. Menyiapkan bantuan perorangan dan keluarga melalui upaya bersama berlandaskan usaha potensial yang bersifat produktif dan berbasis pada kelompok usaha kecil.

5. Memanfaatkan dan memberdayakan institusi yang sudah ada di masyarakat, dengan membentuk TPK-RW.

Adapula sasaran program ini adalah:

1. Warga masyarkat yang bermukim di RT-RW kelurahan dan memilki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Propinsi DKI Jakarta yang memerlukan pemberdayaan, baik individu maupun kelompok yang mempunyai usaha kecil.

2. Institusi kemasyarakatan yang memerlukan pemberdayaan, agar mampu mengidentifikasi permasalahan dan potensi masyarakat yang ada di RW/Kelurahan serta untuk pengembangan SDM.

3. Fisik lingkungan yang memerlukan penataan dan perbaikan.

Setiap pihak yang terkait dan terlibat dalam pelaksanaan PPMK harus bertindak dengan mengingat prinsip-prinsip demokrasi partisipasi transparansi, akuntabilitas, desentralisasi, dan keberlanjutan.

Komponen Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yaitu:

1. Komponen kegiatan ekonomi minimal 60% dari BLM, misalnya untuk pengembangan usaha kecil, industri rumah tangga, perdagangan barang dan jasa melalui dana bergulir.

2. Komponen kegiatan fisik lingkungan maksimal 20% dari BLM, misaknya untuk perbaikan prasarana dan sarana lingkungan yang mengarah kepada penyehatan lingkungan seperti perbaikan saluran air buangan rumah tangga, penanganan sampah dan menunjang kegiatan ekonomi, seperti jalan, jembatan (skala kecil), dana fisik ini bersifat hibah.

3. Komponen kegiatan sosial maksimal 20% dari BLM, misalnya untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penanggulangan maslaah kesejahteraan sosial, serta pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan. Dana sosial ini bersifat hibah.

4. Biaya Kegiatan Lapangan (BKL).

Untuk menunjang operasional kegiatan PPMK, maka BKL ditetapkan sebesar Rp 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) dibebankan pada dana BLM, setiap tahun anggaran.

Apakah masyarakat terlibat dalam program tersebut? Tentu saja. Seperti kita lihat di atas bahwa sasaran program ini adalah masyarakat itu sendiri. Jadi masyarkat dilibatkan dalam hal ini.

Siapa pelaku utamanya? Pelaku utama dari program ini adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan itu sendiri di dalam masyarakat, seperti Dekel, Lurah, Camat, dan masyarkat yang bertempat tinggal itu sendiri. Dan yang paling terpenting adlah mpartisipasi masyarakat itu sendiri.

Menurut saya, program PPMK ini belum begitu terlihat hasilnya. Buktinya, masih banyak sekali masyarakat yang masih kekurangan dan untuk mengembangkan modalnya, masih banyak angka pengangguran di lingkup RT/RW, masih banyak juga yang aspirasi dan pendapatnya tidak direalsasikan dengan baik. Bahkan banyak yang tidak mengetahui apa itu PPMK dan tujuan dari program tersebut karena kurangnya sosialisasi dan peran lembagalembaga masyarakatya.

Mungkin menurut saya, program ini butuh dikaji lagi, disosialisasikan lagi dengan baik, dan dievaluasi terus hingga dapat dipahami dan diikuti oleh masyarakat sehingga partisipasi masyarakat bias didapatkan dan mungkin target “pemberdayaan masyarakat” tersebut bias tercapai.

Yang terlibat dalam perencanaannya adalah Gubernur DKI Jakarta serta Pemerintah DKI Jakarta karena merekalah yang menimbang dan mengeluarkan keputusan program ini.

Lalu, pada tahap pelaksanaannya, yang terlibat adalah BPM Kotamadya/kabupaten Administrasi kepulauan seribu, camat, lurah, Dekel, Tim seleksi, Unit Pengelola Keuangan Masyarakat Kelurahan, LSM pendamping/Faskel/Perguruan Tinggi, dan Tim pelaksana Kegiatan (TPK) RW.

Yang mengawasi program ini adalah masyarakat yang terdiri dari kelompok masyarakat, lembaga kemasyarakatan, dan warga masyarakat setempat dan Aparat yang melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Teori Suicide oleh Emile Durkheim

Menurut Durkheim, faktor demografik merupakan faktor terbesar dalam perubahan dan perkembangan masyarakat.faktor demografis tersebut menurutnya adalah pertambahan jumlah penduduk. Menurutnya dengan bertambahnya volume penduduk maka kepadatan penduduk dalam suatu ruang spasial tertentu meningkat. Dengan meningkatnya kepadatan maka menimbulkan kebutuhan akan pembagian kerja yang baru (new division of labour), dengan munculnya spesialisasi kerja baru akan memunculkan struktur baru dalam masyarakat fungsi dan peran baru. Semuanya melalui proses evolusi dan consensus, yaitu mengenai masalah moral dan intelektual masyarakat. Munculnya sruktur baru sangat fungsional bagi masyarakat. Sedangkan dalam membahas peruahan dengan revolusi kekerasan seperti di Perancis tahun 1789, Durkheim cenderung menyebutnya kelainan atau anomali, yang artinya individu kehilangan pegangan (kekaburan norma/tanpa norma).

Durkheim kemudian membagi dua jenis masyarakat, yaitu masyarakat bersolidaritas mekanik (masyarakat primitif homogen)dan masyarakat bersolidaritas organis (masyarakat heterogen-modern). Masyarakat bersolidaritas mekanik tersusun karena semua posisi dan peran yang dijalankan masyarakatnya sama sehingga muncul hubungan yang mekanik. Sedangkan masyarakat bersolidaritas organis tersusun karena rasa saling tergantung satu sama lain sehingga membentuk ikatan organis. Pada model masyarakat organis ini maka tidak ada tempat bagi konflik dan ketegangan. Konflik hanya dianggap sebagai suatu penyakit (patologi) dan hanya merupakan suatu kondisi yang sementara. Masyarakat selalu memiliki pengaturan yang membuat dirinya tetap bertahan dan tidak terjadi disintegrasi. Masyarakat menurut pendekatan ini selalu mengusahakan terjadinya suatu posisi seimbang. Dengan logika tersebut maka menurut Durkheim hierarki sosial dan konsentrasi kekuasaan menjadi berguna bagi berthannya masyarakat. Gagasan ini disebut gagasan struktural fungsional.

Durkheim menolak dengan tegas anggapan-anggapan tentang penyebab bunuh diri disebabkan oleh penyakit kejiwaan, akibat imitasi atau peniruan. Ia juga menolak teori ras, teori klim, teori yang menhubungkan bunuh diri dengan alkoholisme, dan juga menolak teori yang menghubungkan bunuh diri dengan kemiskinan.

Menurut Durkheim, peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.

Durkheim menyatakan bahwa dibalik bergelimangnya sebuah kemakmuran dalam masyarakat modern - sesuatu keadaan yang kurang ada pada masyarakat tradisional-, pada mereka banyak juga bermunculan penderitaan-penderitaan yang tidak ada pada masyarakat tradisional . Karena itu dalam masyarakat modern banyak dijumpai terjadi bunuh diri. Dalam mengkaji persoalan bunuh diri,Durheim melakukan distribusi penggolongan fenomena bunuh diri, sebagai contoh menurutnya bunuh diri di Protestan lebih tinggi daripada di Katholik, karena kebebasan di Protestan lebih dihargai. Durkheim juga menyatakan bahwa orang yang tidak menikah mempunyai tingkat bunuh diri yang lebih tinggi daripada yang sudah menikah, jumlah keluarga dengan anak yang banyak akan sedikit bunuh dirinya daripada kelurga yang mempunyai anak sedikit. Dia juga menyatakan bahwa adanya krisis politik dan perang yang bisa menjadikan keterlibatan partisipasi masyarakat akan menyebabkan tingkat integrasi yang tinggi, sehingga tingkat bunuh dirinya pun relatif rendah. Durkheim membagi bunuh diri menjadi beberapa kelompok, pertama bunuh diri egoistis, yaitu bunuh iri yang disebabkan kelakuan seseorang yang bersifat egois. Bunuh diri egoistis adalah bunuh diri yang terjadi karena indivudualisasi berlebihan yang terjadi bila individu tercerabut dari kesadaran kolektif yang memberi arah dan makna kehidupan. Kedua,bunuh diri altruistik, bunuh diri yang biasanya ada pada masyarakat tradisional, yaitu bunuh diri yang dilakukan karena ingin berkorban untuk kesejahteraan umum (obligatory altruistic suicide) , ketiga bunuh diri anomie, yaitu bunuh diri yang terjadi karena tidak adanya peraturan moral. Bunuh diri semacam ini bisa terjadi bila terjadi perubahan –perubahan keadaan, dimana individu tidak siap dengan perubahan tersebut.

Dalam kesimpulannya Durkheim sampai pada perumusan-perumusan yang keras bahwa setiap kelompok social mempunyai kecenderungan kolektif ( egoisme, altruisme dan anomi) yang mengadakan paksaan terhadap perilaku manusia untuk bunuh diri, yang merupakan sumber bukannya hasil dari kecenderungan-kecenderungan individual.

Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.

Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.

Analisis Filasafat

Rabu, 13 Desember 2006

Masalah sosial di kalangan remaja

Sumber: KOMPAS

Persidangan Dewan Negara semalam hangat seketika apabila seorang senator mempersalahkan kaum ibu modern yang bekerja yang mengakibatkan timbulnya masalah moral dan sosial di kalangan remaja atau anak-anak.

Kenyataan tanpa bukti, tanpa perangkaan dan tanpa kajian yang sah itu sudah tentu dibantah oleh senator yang mewakili kaum hawa. Siapa yang tidak akan melenting sekiranya sesuatu tuduhan dibuat secara sedap mulut sahaja?

Senator berkenaan juga berkata kaum ibu modern yang bekerja membiarkan soal asuhan dan penjagaan anak kepada pembantu rumah dari Indonesia dan menurut beliau fakta itu juga menyumbang kepada masalah yang dibangkitkannya.

Kita tidak tahu sama ada senator berkenaan menggaji pembantu rumah dari Indonesia atau tidak, atau berapa orang pembantu rumah yang bekerja dengannya. Mungkin lebih daripada seorang memandangkan inilah yang menjadi kebiasaan atau kebanggaan di kalangan golongan tertentu di negara ini.

Senator tersebut gagal menyebut gaya hidup modern golongan seperti beliau yang turut menyumbang kepada masalah sosial dan moral di kalangan remaja. Mereka sentiasa sibuk dan tidak mempunyai masa yang cukup untuk anak-anaknya dan ini merupakan satu faktor penyumbang. Walaupun isteri mereka tidak bekerja tetapi gaya hidup mereka yang "sibuk" ke sana-sini termasuk ke butik pakaian, salon kecantikan dan beryoga juga menyumbang kepada masalah tersebut.

Kemewahan hidup yang diberikan kepada anak-anak sering mengakibatkan mereka lupa diri dan terpengaruh dengan minat rekan sebaya sehingga ada yang terjebak dengan pengambilan pil khayal.

Untuk mempersalahkan ibu modern yang bekerja untuk menampung keperluan hidup keluarga adalah tidak adil dan tidak tepat sama sekali. Ramai pasangan yang bekerja telah menghasilkan anak yang berguna dan berjaya. Mereka bijak mengurus masa dan mengurus rumah tangga.

ANALISIS SAYA MENGENAI HUBUNGANNYA DENGAN FILSAFAT

Dari artikel tersebut, saya melihat bahwa permasalahan mengenai masalah sosial yang terjadi karena kurangnya perhatian para ibu modern yang sibuk melakukan aktivitasnya sendiri, merupakan suatu hal yang berkaitan dengan filsafat. Mengapa? Karena dalam hal tersebut ada manusia yang bertanya dan adanya permasalahan mengenai sesuatu yang membuat mereka berpikir. Dan mereka menggunakan akal budi mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Begitu pula dengan masalah di atas.

Filsafat dalam hal ini menaruh perhatian pada tingkah laku manusia dan mempelajari apa-apa yang terjadi pada manusia di dalam masyarakat.

Dengan filsafat, maka penulis artikel di atas dapat berpikir kritis mengenai masalah yang terjadi tersebut. Penulis juga mungkin saja memilih artikel tersebut sebagai bahan persoalannya karena berdasarkan pengalaman (empiri) orang lain di sekitarnya, atau bahkan pengalamannya sendiri. Oleh karena itu mereka menggunakan aliran empirisme jika dilihat dari segi pandang filsafat. Penulis tersebut juga menggunakan wawasan dan pengetahuan yang dimiliki olehnya untuk menganalisis masalah tersebut.

Artikel tersebut menggunakan teori rasionalisme dalam memecahkan masalahnya. Pertanyaan pertanyaan seperti misalnya: “mengapa ibu modern kurang memperhatikan anak-anak mereka?”, mengajak kita untuk memikirkan apa jawaban dari pertanyaan tersebut secara panjang lebar. Berfilsafat berarti mengajak orang untuk bertanya. Dalam bertanya orang kadangkala menunjukkan sikapskeptis, heran, atau ragu-ragu terhadap sesuatu yang hendak ditanyakan. Berfilsafat dapat diartikan sebagai uapaya orang untuk mengetahui sesuatu dengan metode atau cara atau sikap tertentu. Upaya mengetahui sesuatu harus dianggap sebagai suatu usaha manusia yang terus-menerus, usaha manusia yang berusaha menggali sesuatu hingga ke akar-akarnya. Kecenderungan manusia untuk mempertanyakan sesuatu secara terus-menerus menyebabkan manusia menjadi lebih kritis terhadap dirinya sendiri maupun sesuatu yang ingin diketahuinya.

Manusia menggunakan metode skeptis (ragu-ragu) untuk mendapatkan kepastian. Dengan adanya sikap ragu-ragu tersebut, maka manusia itu berpikir. Seperti istilah “cogito ergo sum” yang berarti saya berpikir maka saya ada. Pemikiran ini merintis cara berpikiran logis dalam ilmu pengetahuan yang menitikberatkan pada kesadaran (akal budi).

Pembahasan masalah ini juga bersan dar pada bidang ilmu aksiologi, yang seperti kita ketahui, membahas tentang perilaku manusia, tentang nilai-nilai seprti norma, etika, kaidah-kaidah kehidupan, hukum, moral atau ilmu yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk.

Filsafat sangat penting dalam kehidupan karena filsafat adalah dasar daripada segala ilmu. Ia mendasari segala maca persoalan yang ada di dunia ini dan membantu manusia memecahkan masalahnya.

Pembangunan sebagai kebebasan: Pengantar Amartya Sen tentang Pembangunan

REVIEW

Profesor Amartya Kumar Sen menjelaskan dalam bukunya mengenai kosepnya mengenai pembangunan, yaitu sebagai upaya untuk memperluas kebebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat.dalam konsepnya tersebut, kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan. Nilai intrinsik kebebasan manusia didukung oleh berbagai kebebasan ini besar bersifat empiris dan kausal,saling menjadi bagian dan berkaitan. Contohnya, kebebasan ekonomi dan pilitik saling memperkuat. Untuk berperan serta dalam ekonomi dan politik, peluang sosial di bidang pendidikan dan kesehatan melengkapinya. Dapat kita lihat bahwa pandangan Profesor Sen yang luas ini kotras dengan pandangan konvensional bahwa pembangunan tergantung pada pertumbuhan ekonomi, seperti pertumbuhan PDB, pendapatan nasional, serta kemajuan teknologi dan modernisasi sosial.

Untuk memenuhi perluasan kebebasan tersebut yang dikemukakan di atas, diharuskan untuk menyingkirkan kemiskinan dan tirani, intoleransi, dan campur tangan rezim represif yang berlebihan. Walaupun mengalami peningkatan kesejahteraan material,teramsuk di Negara berkembang, tetapi sebagian besar manusia tidak memiliki berbagai kebebasan dasar. Seringkali ketidakbebasan ini disebabkan oleh kemiskinan absolut yang menyebabkan orang-orang sulit memperoleh kebebasan untuk memuaskan rasa lapar, memenuhi nutrisi, pengobatan, sarana dan fasilitas yang memadai seperti air bersih.

Profesor mengkritik pandangan tradisional dalam bukunya Poverty and Famines-An Essay on Entitlement and Deprivation, bahwa bencana kelaparan disebabkan oleh turunnya persediaan pangan. Padahal menurut studi empiris, pandangan tersebut bisa terjadi tanpa adanya penurunan persediaan pangan. Ia juga menyatakan bahwa perhatian harus dipusatkan pada Entitlement (hak) yang dimiliki oleh setiap orang. Jika seseorang tidak dapat membangun hak atas jumlah pangan yang cukup maka ia akan kelaparan.

Pada kasus lain, tiadanya kebebasan disebabkan langsung oleh tidak adanya program pendidikan dan kesehatan yang memadai dan tidak adanya lembaga yang menjaga keamanan, ketertiban dan hukum secara efektif. Kebebasan perempuan juga sangat dibatasi, padahal jika perempuan diberi kesempatan untuk bekerja di luar rumah, maka ia dapat membantu mengurangi kemiskinan, dan membantu mensejahterakan keluarga.

Dalam hal lainnya pula, tiadanya kebebasan adalah akibat langsung dari hilangnya hak politik dan sipil karena tindakan otoriter pemerintah. Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan sosial, poltik, dan ekonomi juga dibatasi. Di beberapa negara berkembang, penolakan terhadap sistem demokrasi dan kebebasan politik didasari pada beberapa argumen berikut.

Pertama, klaim bahwa kebebasan dan hak politik menghambat pembangunan ekonomi. Pandangan ini tidak didukung bukti empiris yag kuat. Apalagi tidak banyak bukti yang memperlihatkan bahwa rezim otoriter mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata. Bukti-bukti yang sangat meyakinkan oleh professor Sen menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara berkembang pertama disebabkan oleh iklim ekonomi yang menguntungkan daripada system politik yang keras.

Kedua, beberapa pembela kebijakan otoriter mengklaim bahwa jika kepada orang-orang miskin diberikan pilihan apakah mereka menginginkan kebebasan politik atau pemenuhan kebutuhan ekonomi, maka mereka memilih yang kedua.

Ketiga, argumen ini cenderung pada kebijakan otoriter didasarkan pada klaim bahwa kebebasan politik dan demokrasi adalah “konsep Barat” yang tidak sesuai dengan “nilai-nilai Asia” yang lebih menekankan pada ketertiban serta disiplin diri dan sosial daripada kebebasan politik.

Hubungan antara demokrasi dan tiadanya bencana kelaparan mudah dicari. Di negara-negara nondemokratis, yang tertimpa bencana kelaparan, para presiden , raja, dan pemimpin militer beserta keluarganya tidak pernah menjadi korban. Alasannya karena mereka tak perlu menanggung konsekuensi dari kegagalan mencegah kelaparan. Di negara-negara ini, tidak ada pemilu bebas, partai oposisi, dan pers yang tidak dihalangi mempublikasikan fakta-fakta yang mempermalukan pemerintah.

Sebaliknya, di negara demokrasi, bencana kelaparan dapat menimpa kelompok berkuasa dan para pemimpin politik. Ancaman ini telah memberi peringatan politik kepada para pejabat untuk mencegah bencana kelaparan. Pers yang bebas mengadakan liputan investigatif memberikan informasi penting yang dapat mencegah terjadinya kelaparan.

Analisis profesor Sen tentang pembangunan memandang kebebasan individu sebagai dasar. Karena itulah pembangunan harus dipandang sebagai usaha untuk memperluas kebebasan subtantif atau “kemampuan manusia”. Perspektif “kemampuan manusia” ini, berkaitan dengan perspektif “modal manusia”. Namun cakupan perspektif “modal manusia” lebih sempit, karena ia hanya memfokuskan perhatian kepada upaya manusia dalam mningkatkan produksinya atau cara agar manusia menjadi lebih produktif sehingga memberi sumbangan yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, perspektif Profesor Sen tentang “kemampuan manusia” lebih luas yang memfokuskan perhatian pada kemampuan atau kebebasan subtantif semua orang untuk menempuh kehidupan yang menjadi idaman.

Relevansi Pandangan Profesor Sen bagi Indonesia

Di masa pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 1996 sampai pertengahan 1997, pandangan Profesor Sen ini bias dianggap sebagai idealis dan naïf pandangan intelektual yang sama sekali tak mengenal realitas politik di banyak negara berkembang. Di negara-negara ini mayoritas penduduk belum bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Pada masa itu negara-negara otoriter (termasuk Indonesia) mencapai laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat daripada negara-negara yang kurang otoriter.

Sebenanya pandangan yang anti demokrasi itu didasarkan pada bukti yang sangat terbatas. Namun pandangan ini kuat mencengkeram para pemimpin politik di banyak negara berkembang yang berpandangan bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup dan membangun negara yang kuat adalah dengan mencapai pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang pesat dengan kekuasaan otoriter.

Setelah pecah krisis keuangan dan ekonomi di Asia Tenggara dan Asia Timur pada 1997/98, pandangan tentang nilai-nilai demokrasi dalam mengelola krisis ekonomi menjadi sangat relevan, khususnya untuk Indonesia.

Menurut Profesor Andrew McIntyre, struktur politik di Indonesia dan Thailand sangat menyulitkan upaya perbaikan krisis secara cepat dan efektif karena kepercayaan investor sangat menurun. Akibatnya, kerusakan ekonomi yang terjadi berlipat ganda. Walaupun demikian, struktur politik di kedua negara ini sangat berlainan.

Tidak seperti di Thailand, struktur politik di Indonesia sangat otoriter dan represif, dengan otoritas pembuat kebijakan terpusat pada Soeharto. Dalam pidato Dr. Denis de Tray, menyatakan bahwa para ekonom telat menyadari ahwa petiumbuhan ekonomi yang pesat-berkelanjutan tidak hanya bergantung pada kebijakan makroekonomi dan mikroekonomiyang sehat, melainkan pada lembaga yang kokoh yang dapat menegakkan berbagai aturan dasar dalam mengendalikan kegiatan pemerintah. Di Indonesia, satu-satunya lembaga yang kuat selama era Orde Baru adalah presiden, namun lembaga ini pun tidak dapat berfungsi dengan baik.

Di Indonesia peranan proaktif demokrasi tidak ada. Karena itu pernyataan Profesor mohammad Sadli sangat benar, bahwa hebatnya krisis di Indonesia mayoritas disebabkan oleh factor-faktor politik, termasuk ketidakstabilan politik sekita Soeharto, suksesi politik, korupsi besar-besaran, dan represi terhadap segala lapisan politik.

Ketika ekonomi Indonesia semakin jatuh ke dalam jurang pada awal 1998, terlihat jelas bahwa disiplin reformasi keuangan dan ekonomi lainnya dihambat oleh Soeharto. Ia bertekad melindungi kepentingan ekonomi anak-anaknya. Walaupun banyak ekonom, pelaku bisnis, dan birokrat senior sangat menyadari bahwa langkah-langkah lebih mantap untuk menghentikan anjloknya ekonomi diperlukan, tak seorangpun di lingkungan politik yang berani mendorong presiden untk menghadapi situasi sulit itu dengan tabah. Dalam kasus Indonesia tersebut, pandangan Profesor Sen mengenai perana protektif demokrasi jelas relevan.

Jadi, kebebasan politik memang merupakan unsur yang sangat penting dalam seluruh kebebasan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa untuk untuk menempuh kehidupan yang diinginkan. Walaupun itu bukanlah satu-satunya kebebasan instrumental. Yang lainnya mencakup fasilitas ekonomi, peluang social, jaminan transparansi, jaminan perlindungan. Semua kebebasan instrumental tersebut merupakan komponen penting yang harus dimiliki oleh rakyat Indonesia.

Mengherankan bahwa semua diskusi mengenai “distribusi asset” yang lebih merata, topiknya hanya terpusat pada redistribusi aset fisik atau aset moneter. Hampir tak seoranpun yang mengemukakan masalah krusial “redistribusi asset nonfisik”, yang unsure terpentingnya adalah keterampilan manusia. Memperluas akses kepada lembaga pendidikan yang baik bagi mayoritas penduduk kurang mampu, misalnya dengan meningkatkan beasiswa bagi anak-anak keluarga kurang mampu, sepertinya sejalan dengan upaya memperluas “kemampuan manusia”. Dengan upaya ini kebebasan yang mereka miliki akan membimbing mereka ke arah kehidupan yang diimpi-impikan.